Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia, dilihat dari Sudut Pandang Etika Bisnis

Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.

Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10 tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus baru- baru ini.

Kasus perbankan lain yang cukup menarik perhatian masyarakat adalah LC fiktif yang merugikan Negara sampai 1.7 Triliun, jumlah uang yang cukup fenomental jika dilihat dari jumlah pelaku yang beberapa gelintir saja. Ini lebih besar dari laba bersih setahun yang bisa diraih BNI tahun 2004.

Peraturan yang mengatur bisnis perbankan sudah cukup lengkap. Sebut saja UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.7 Tahun 1992, sudah sedemikian detail mengatur tentang segala definisi pelanggaran perbankan beserta sanksi yang diancamkan. Sistem audit baik Internal maupun eksternal juga sudah sedemikian lengkap mengatur pengawasan operasional perbankan. Namun masih saja bisa di cari-cari celah untuk melakukan penyimpangan.

Informasi dari berbagai media menyatakan bahwa jumlah para pelaku kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dari kalangan pebisnis di Indonesia masih cukup banyak. Padahal sudah banyak Undang – undang dan aturan yang merupakan rambu–rambu yang mengatur tentang kegiatan usaha . Pertanyaannya adalah, mengapa para pelaku kejahatan masih saja berani menyimpang dan berbuat curang dalam kegiatan bisnisnya?

1. Seputar Definisi Korupsi
Korupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat sistem politik modern dikenal. Konsepsi mengenai korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya.

Prinsip ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.

Demokrasi yang muncul di akhir abad ke-18 di Barat melihat pejabat sebagai orang yang diberi wewenang atau otoritas (kekuasaan), karena dipercaya oleh umum. Penyalahgunaan dari kepercayaan tersebut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan. Konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat.

Konsep politik semacam itu sudah barang tentu berbeda dengan apa yang ada dalam konsep kekuasaan tradisional. Dalam konsep kekuasaan tradidonal raja atau pemimpin adalah negara itu sendiri. Ia tidak mengenal pemisahan antara raja dengan negara yang dipimpinnya. Seorang raja atau pemimpin dapat saja menerima upeti dari bawahannya atau raja menggunakan kekuasaan atau kekayaan negara guna kepentingan dirinya pribadi atau keluarganya.

Perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai korupsi, kekuasaan politik yang ada di tangan raja bukan berasal dari rakyat dan ia rakyat sendiri menganggap wajar jika seorang raja memperoleh manfaat pribadi dari kekuasaannya tersebut.

Pengertian korupsi dalam arti modern baru terjadi kalau ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagian pejabat sangat penting, sebab seorang raja tradisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karena raja adalah negara itu sendiri. Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru dimana tidak adanya pemisahan antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan konsepsi anti korupsi.

Dengan demikian korupsi dapat didefiniskan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.

Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.

Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah Indonesia. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya. Bentuk fasilitas istimewa tersebut meliputi:

a. Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar dan tidak taat azas dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah atau dalam rangka kerjasama pemerintah/BUMN/BUMD dengan swasta.
b. Fasilitas kredit, pajak, bea masuk dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau membuat aturan/keputusan untuk itu secara eksklusif.
c. Penetapan harga penjualan atau ruislag yang menyimpang.
Suatu analisa menarik dilontarkan oleh John Girling bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari parktekpraktek kolusi yang terjadi diantara elite politik dan pelaku ekonomi, yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi (swasta). Dengan kata lain, korupsi terjadi pada saat pelaku ekonomi mencoba memanfaat kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik untuk mengejar keuntungan (profit), di luar proses yang sebenarnya. Sementara elite politik sendiri memanfaatkan hubungan tersebut untuk membiayai dirinya sendiri atau bahkan membiayai praktek politik yang dilakukannya.

Konsep demokrasi modern dan kapitalisme telah melahirkan kontradiksi antara kepentingan birokrasi pemerintahan yang harus melayani kepentingan umum dengan perkembangan dan intervensi kepentinngan pasar. Di satu sisi, dengan mandat atas nama rakyat yang diperoleh oleh sistem pemerintahan demokratik, maka ia harus mengedepankan kepentingan rakyat secara umum. Sementara perkembangan kapitalisme, yang juga berkepantingan terhadap birokrasi modern, berbanding terbalik dengan kepentingan umum. Akumulasi modal yang menjadi logika dasar dari kapitalisme mengharuskan adanya kontrol pasar dan jalur distribusi.

Maka untuk meraih kepentingan tersebut tak jarang para pengusaha menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka. Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal antara kepentingan politik dan ekonomi. Kolusi merupakan bentuk pra-kondisi dari korupsi. Sudah barang tentu pelaku ekonomi memperoleh manfaat keuntungan ekonomi dari hubungan tersebut. Sementara para elite politik memperoleh keuntungan untuk membiayai kepentingankepentingan politik yang akan mereka raih.

Lantas bagaimana korupsi itu dipraktekkan?
Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar. Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.

Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya.

Sejarah sendiri mencatat bahwa Perang Diponegoro, yang terjadi pada tahun 1825-1830, muncul akibat protes rakyat terhadap perbuatan pejabat-pejabat menengah, seperti Demang atau Bekel, dalam soal pungutan pajak, pematokan tanah untuk jalan tol, dan khususnya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh para pejabat yang bertanggungjawab terhadap pintu gerbang tol.

2. Definisi Etika dan Etika Bisnis di Indonesia

Sonny Keraf membagi pengertian etika menjadi dua, yaitu:

a. Etika sebagai Moralitas, Etika (Yunani=ethos) = kebiasaan hidup / adat istiadat, berkaitan dengan nilai-nilai. Moralitas (latin=mos)=adat / kebiasaan.n Jadi etika adalah suatu sitem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup yg terwujud dalam pola perilaku ajeg dan terulang dalam kurun waktu lama sebagai kebiasaan.

b. Etika sebagai ilmu , yaitu ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian diatas.

Bagaimana posisi teori Etika Bisnis dalam kancah dunia bisnis di Indonsesia? Etika bisnis sendiri sesungguhnya merupakan aplikasi dari etika pribadi para pelaku bisnis itu sendiri dalam dunia usaha. Sonny Keraf dalam bukunya ”Etika Bisnis” menyatakan bahwa dalam tingkat tertentu etika lalu menjadi sebuah ilmu yang sangat luas dan kompleks dan berkaitan dengan seluruh bidang dan aspek kehidupan manusia.

Etika bisnis menjadi semakin penting ketika sistem perekonomian sendiri memberikan tempat bagi adanya perdagangan bebas, persaingan harga dan monopoli perdagangan. Dalam bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom.

Dalam bukunya yang berjudul ” Etika Bisnis : Tuntutan dan Relevansinya”, DR. A. Sonny Keraf membagi etika dalam tiga norma umum yaitu : Norma sopan santun, norma hukum dan ketiga adalah norma moral. Rendahnya etika para pelaku bisnis terjadi karena rendahnya pemahaman dari norma – norma umum yang sangat mendasar tersebut. Etika adalah suatu yang terbentuk dari proses yang cukup panjang, bahkan sepanjang dari usia seseorang itu sendiri. Etika adalah pelajaran yang di peroleh seseorang mulai dari lahir, sampai tingkat dewasa.

Jadi untuk mendapatkan suatu hasil yang baik dari wujud etika dari seseorang harus mulai di pupuk dari usia kecil. Pelajaran tentang norma-norma dasar harus mulai ditanamkan mulai dari anak usia balita dan berkesinambungan sampai usia dewasa. Dari usia diman ia belum bisa membedakan mana benar – mana salah,sampai dengan usia dimana ia dapat membedakan mana yang benar mana yang salah.

Sonny Keraf juga membagi etika berbisnis dalam beberapa prinsip al.

a. Prinsip Otonomi, adalah sikap dan kemampuan menusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya paling baik untuk dilakukan.

b. Prinsip Kejujuran, dalam mengikat perjanjian dan kontra k tertentu, senmua pihak (pelaku bisnis dalam hal ini) secara a priori saling percaya satu sama lain, bahwa masing-masing pihak secara tulus dan jujur dalam membuat perjanjian dan kontrak dan lebih dari itu serius serta tulus dan jujur melaksanakan janjinya.

c. Prinsip Keadilan, yang menuntut agar setiap orang diperlakukan dengan sama sesuai dengan peraturan yang adil dan sesuai dengan kriteria rasional obyektif yang dapat dipertanggungjawabkan.

d. Prinsip saling menguntungkan, menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga meguntungkan semua pihak.

e. Integritas Moral, dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar ia perlu menjalankan perusahaan bisnis dengan tetap menjalankan nama baiknya atau nama perusahaannya.

PEMBAHASAN
Mengapa para pelaku kejahatan masih saja berani menyimpang dan berbuat curang dalam kegiatan bisnisnya? Jika ditelusur dari sudut pandang etika bisnis, akar dari semua permasalahan praktek KKN yang melanda dunia perbankan saat ini adalah adanya krisis moral yang sudah begitu parah. Rendahnya moralitas para pelaku bisnis perbankan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kecurangan dan berbagai penyimpangan dalam bisnis .

Seberapapun kuatnya sanksi yang diberikan tak akan mampu membuat gentar para penjahat. UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.7 Tahun 1992, sudah sedemikian detail mengatur tentang segala definisi pelanggaran perbankan beserta sanksi yang diancamkan. Pasal 49 ayat 1 dengan tegas menyatakan : “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:

a.) Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, b.) menghilangkan atau tiidak memasukkan atau menyebabkan ttidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; c.) mengubah, atau menghilangkan , menyembunyikan menghapus atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam leporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubahh , mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut; diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima ) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000 (dua ratus miliar ).

Bagi beberapa orang, keberadaan UU serta sanksi hukum yang diancamkan mungkin saja tidak begitu menakutkan. Jika menilik catatan kasus – kasus sebelumnya ,pelaku yang berhasil tertangkap nyata – nyata tidak diproses secara tegas. Sulitnya menguak dan membuktikan tindak kejahatan perbankan yang melibatkan orang dalam juga menjadi kendala tersendiri.

Seberapapun ketatnya pengawasan akan selalu dicari celah-celah untuk bisa berbuat kecurangan demi keuntungan diri sendiri. Sistem audit yang ada baik internal perusahaan maupun ekternal sudah sedemikian ketatnya mengawasi kegiatan perbankan, namun ada saja celah yang bisa dimanfaatkan oleh para pelaku untuk mengambil keuntungan.. Petugas auditor juga tidak bisa selamanya 24 jam bisa mengawasi operasional bank. Hal ini dimanfaatkan oleh para pelaku yang sudah berpengalaman operasional untuk melaksanakan aksinya selama bertahun- tahun dan merugikan perusahaan dan negara triliunan rupiah.

Jadi , jika dilihat dari nilai konsep etika bisnis, etika seseorang pelaku bisnis dapat mulai ditanamkan semenjak ia masih kecil, ketika di masih merupakan sosok pibadi yang lugu dan utuh bukan seorang pelaku bisnis. Jika para pelaku bisnis sudah memiliki bekal etika bawaan sebagai seorang yang berbudi luhur, maka bisa diharapkan dunia bisnis akan di huni oleh orang – orang yang jujur, dan sangat menghargai kepercayaan orang lain yang di berikan kepadanya. Dunia bisnis akan sangat kondusif, tanpa di nodai oleh praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan , antara lain:
1. Rendahnya moralitas para pelaku bisnis perbankan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kecurangan dan berbagai penyimpangan dalam bisnis.
2. Etika seseorang dapat mulai ditanamkan semenjak ia masih kecil, ketika dirinya masih merupakan sosok pibadi yang lugu dan utuh.

Artikel Terkait :

0 Respon Pada "Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia, dilihat dari Sudut Pandang Etika Bisnis"

Posting Komentar